Sabtu, 03 Oktober 2015

My nephews

My nephews


     Tubuhnya yang bongsor bertengger di kursi empuk di depan meja belajarnya.  Anak itu sedang asik mengamati layar laptop deolah tak ingin diganggu.  Benar saja ketika aku bertanya padanya apakah ia telah memberi makan anjing kesayangannya ia hanya menunjukkan sikap tak acuh.  .
  
   "Ah Bude ganggu aja..!!  Sekarang Eyang yang kasih makan, Budee..!!" Katanya kesal.  
Aku amati anak itu balakangan ini sudah mulai berubah sifatnya.  Dulu Maureen, nama ponakanku itu, adalah anak yang ramah, cantik dan periang.   Tiap aku pulang kantor pasti ia menyambutku dengan riang.  Kini setelah ia menginjak remaja perangainya berubah.  Ia menjadi anak yang menyebalkan menurutku karena tiap kali diajak bicara ia selalu judes dan mau menang sendiri.  Apakah karena polah asuh orang tuanya yang salah?   Ayah bundanya memang selalu sibuk bekerja, berangkat pagi pulang malam.  Bundanya bekerja di sebuah bank asing, sedang ayahnya memiliki showroom mobil.  Soal pekerjaan rumah tampaknya anak anak kurang diperhatikan orang tuanya.  Beruntung kakek mereka seorang dosen, paling tidak ada yang mengontrol keseharian belajar mereka.   Maureen sudah mulai terlihat bakatnya.  Ia pandai bermain gitar sambil menyanyi lagu lagu berbahasa Inggris khas anak anak perkotaan jaman sekarang.  Aku pikir akan lebih baik bakatnya disalurkan dalam ajang pencarian bakat anak anak.  Saat SD tubuhnya mungil tapi kini semakin gemuk.  Kalau makan, lebih banyak lauk pauknya daripada nasi yang ada di piringnya.   Kata Mama teman teman Maureen juga sama judesnya dengan dia. Sahabat sahabat sekolahnya yang berjumlah tiga orang kadang main ke rumah dan anak anak itu dengan gaya bicara yang ceplas ceplos dan sedikit angkuh selalu meramaikan suasana kalau sudah berkumpul.
   
  Adik Maureen, Mario namanya hanya beda usia dua tahun dengan kakaknya.  Tinggi badannya sudah melebihi seluruh anggota keluarga di rumah.  Hanya kulitnya mulai tampak gelap karena pulang sekolah ia lebih suka berpanas panas bermain sepeda dengan teman temannya.   Kalau libur ia lebih suka mengajak orang tuanya berenang, beda dengan Maureen yang lebih suka ke mall.  Mario lebih ramah, hanya saja ia kadang bertengkar dengan eyang putrinya berebut saluran tv di ruang tamu.  Padahal di kamarnya sudah ada tv sendiri tapi ia lebih suka merecoki kakek neneknya.  
     "Maureen...!! Sudah mandi??" kudengar Bundanya teriak dari arah kamar.
     "Iya Bun, sebentar lagi!" Gadis bongsor itu mematikan laptopnya dan menuju ke kamar mandi.  Satu jam kemudian mereka kulihat menuruni anak tangga di ruang tamu dengan mengenakan gaun dengan corak dan warna yang sama.
     "Wow...., kembaran nih...  Mau ke mana neng?" Tanyaku.  Kakek neneknya senyum senyum memperhatikan tingkahnya.
     " Mau nonton di PIM" katanya singkat.
Bajunya berwarna pastel dan tas slempang mungil bertengger di pundaknya dengan warna hijau muda.  Rambut panjangya diikat ekor kuda.  Di belakangnya menyusul ayah dan adiknya mengenakan sepatu casual dan bercelana sebatas lutut.  Tak lama mobil mereka berlalu meninggalkan halaman rumah.  
     Malamnya ketika tiba di rumah, kulihat masing masing membawa tas belanja.  Adikku dan suaminya ternyata habis belanja barang kebutuhan sehari hari di supermarket.  Mario menenteng tas berisi bola basket baru dan Maureen mengeluarkan bungkusan berisi buku agenda cantik dan tempat pensil.
     "Wah bagus sekali Kak." Kataku memuji.
     "Ini buat kado Farah, Bude, besok dia ulang tahun dirayain di KFC." Katanya.
     "Bungkus kadonya bagus nggak, Bude?" Tumben dia bertanya padaku, biasanya cuek.
     "Bagus!" Pujiku melihat bungkus kado dengan motif hati berwarna pink.
     "Sini Bude bungkusin," aku mencoba menawarkan bantuan.  Anak itu mengangguk.  Sementara Mario kulihat sedang berbincang dengan seorang temannya yang baru datang.  Rupanya temannya itu malam ini akan menginap di rumah.  Aku berdoa semoga ponakan ponakanku menjadi anak anak yang pintar, santun dan berbakti pada orang tua.
































































































































































Selasa, 29 September 2015

cerita2 indah: Shopping mania     Hobiku adalah belanja.  Tiap ...

cerita2 indah: Shopping mania

     Hobiku adalah belanja.  Tiap ...
: Shopping mania      Hobiku adalah belanja.  Tiap bulan selalu ada baju yang kubeli, sudah seperti artis asaja ya aku....  Entah itu bla...

Shoping mania

Shopping mania


     Hobiku adalah belanja.  Tiap bulan selalu ada baju yang kubeli, sudah seperti artis asaja ya aku....  Entah itu blazer kerja atau gaun gaun indah.  Banyak di antara gaun gaun itu yang sampai sekarang belum pernah kupakai.  Kusimpan rapi di ruang khusus barang barang fashionku.  Tas tas pesta cantik berpayet juga adalah koleksiku.  Selendang selendang bordir beraneka warna  dan tentu sepatu kerja serta sandal sandal trendi yang semuanya berhak tinggi.  Untuk gaun aku suka yang bermotif bunga.  Itulah aku seorang gadis yang gila belanja.  Kadang sampai lupa memikirkan pasangan hidup karena aku terlalu sibuk bekerja dan keluar masuk toko.  Ibu pernah menegurku karena kebiasaanku yang tidak baik itu.  Aku kurang suka nonton.  Kalau ada film romantis yang sekiranya bagus baru aku nonton, itu pun nonton sendirian.  Bagiku belanja barang barang fashion jauh lebih menyenangkan meskipun hanya sendirian hinggap dari satu toko ke toko lainnya.  Aku selalu cepat menemukan barang yang kuinginkan, tidak perlu waktu lama untuk memilih.  Dan aku merasa apapun yang aku beli selalu tampak cantik saat dipakai.  Kadang aku berdoa semoga aku dapat meninggalkan kebiasaanku yang buruk ini.  Aku ingin tidak lagi gila belanda dan mulai menabung untuk membeli rumah.  Teman teman kantorku umumnya rajin menabung, masakkan aku tidak bisa meniru mereka?
























8 Perempuan



     8 perempuan sedang berkumpul siang itu di sebuah kantin di bilangan Jakarta Selatan.  Kedelapan perempuan itu adalah aku sendiri dan teman teman kuliahku. Bertahun tahun  lalu kami diwisuda dan kini masing masing tentu sibuk dengan kehidupannya.  Semua telah menikan kecuali satu yaitu... aku.  Dibandingkan dengan teman semasa sekolah, teman kuliah jauh lebih mendapat tempat di hatiku karena mereka lebih hangat.  Satu persatu sosok mereka dapt kuceritakan di sini....

     Ari, perempuan energik, gesit dan pandai mengkoordinir teman temannya.  Setiap pertemuan selalu dia yang menjadi pencetusnya.  Ibu tiga anak ini sebetulnya memiliki pribadi yang ulet, hanya saja nasib baik tidak selalu menyertai keadaan ekonomi rumah tangganya.  Beberapa kali ia dan suami mengalami jatuh bangun dalam merintis bisnis.  Sampai kini keadaannya belum berubah masih mengalami pasang surut keuangan.   
     Tati temanku yang sudah lama menikah namun belum juga dikaruniai anak.  Pembawaannya tenang dan dia bekerja di instansi pemerintah.
     Maryam.... adalah seorang ibu empat anak yang mempunyai suami hebat, seorang pekerja keras.  Dulu usaha suaminya hanya bidang jasa pertamanan tetapi saat ini sudah merambah ke jasa ekspedisi dan kolam renang berikut taman rekreasi di Kalimantan, daerah asal suaminya.  Maryan sudah menjadi wanita yang kaya raya namun tetap rendah hati.
     Windri, temanku yang satu ini sedari dulu keadaan ekonomi rumah tangganya tidak berubah, selalu pas pasan.  Dua anakanya adalah anak anak yang manis, sayang suaminya bukanlah tipe pekerja keras.  Gagal satu usaha, tidak mau lagi mencoba usaha lain. Hingga ia harus berfikir keras supaya bisa membsarkan anak anaknya.  Aku berharap ia dapat menemukan jalan untuk sukses dan tidak putus asa.
     Eva adalah yang paling cantik di anatara kami.  Dia bekerja di sebuah BUMN sementara suaminya merintis bisnis sendiri,. Putra mereka dua.  Aku ingat dulu semasa kuliah aku sering menginap di rumahnya dan berbincang akrab dengan ibunya, seorang janda yang rajin berdoa. 
      Devi....  dengannya aku jarang bertemu karena ia jarang hadir pada setiap pertemuan.  Devi orangnya tomboy.  Aku dengar dia telah dikaruniai seorang anak.  Kariernya bagus, ia bekerja juga di instansi pemerintah.
     Kiswati, ibu tiga anak, sukses berkarier di Dirjend Pajak.  Ke mana mana selalu menyetir mobil sendiri.  Tak terbayang padahal dulu semasa kuliah penampilannya sangat lugu, khas seorang gadis yang baru datang dari daerah.  Suaminya teman kuliah kami juga.  Dulu saat rumah tangganya goyah karena kehadiran pihak ketiga, Ari yang mendamaikan.  Katanya saat itu Kiswati sempat menginap di rumah Ari selama seminggu.   Hee.. hee... lucu juga...  
      Dan aku....   Dari seorang gadis rumahan yang rajin membantu ibu, pada akhirnya aku sibuk, bahkan sangat sibuk ketika mendapatkan pekerjaan di sebuah BUMN.  Berangkat subuh pulang petang itulah keseharianku.  Minggu untuk istirahat dan boro boro aku sempat memikirkan tentang pasangan hidup.  Sehari hari aku sudah sangat letih.




































Minggu, 27 September 2015

Nandia yang malang

Nandia yang malang

     Namaku Nandia.  Seorang gadis sederhana yang sedang meratapi nasib.  Sore ini aku menangis tersedu sedu di kamar kosku.  Seandainya aku lahir di keluarga yang harmonis tentu nasibku tidak seperti ini.  Dan seandainya Mabah putri masih ada.....  Orang tuaku bercerai saat aku masih bayi.  Beberapa tahun kemudian ibuku manikah lagi dan dikaruniai dua orang putri.  Ayah tiriku dulu hanya seorang karyawan biasa.  Kami tinggal di rumah kontrakan sederhana.  Kala itu ibuku kadang menerima jahitan untuk menambah penghasilan keluarga.  Mbah putri membuka toko kelontong masih di rumah yang sama  Mungkin karena Ibu rajin berdoa, keadaan ekonomi keluarga lambat laun mengalami perubahan ke arah yang lebih baik.  Rumah yang mereka kontrak akhirnya bisa mereka beli karena kebetulan yang punya rumah butuh uang.  Lambat laun karier ayah tiriku juga semakin bagus.  Siapa sangka akhirnya beliau bisa menempuh pendidikan sampai S2 dan mendapatkan jabatan bergengsi di tempatnya bekerja.  

     Setelah ayah pensiun keluargaku menempati sebuah rumah besar berikut mobil mewah bertengger di pekarangan rumah.  Saat itulah perangai Ibu mulai berubah.  Kebetulan aku telah bekerja dan Ibu memintaku untuk tinggal sendiri/ kos.  Mungkin dia merasa tidak enak dengan suaminya.  Tahun  pertama aku memilih untuk mengontrak rumah.  Petaka datang ketika suatu hari saat aku pulang kerja kudapati perhiasan emas dan aung yang kusimpan di rumah itu hilang, padahal pintu dalam keadaan terkunci,  Aku menuduh saudara si empunya rumah yang mencurinya karena keluarga itu tinggal di rumah sebelah.  Si pemilik sebelumnya menitipkan kunci rumah yang kutempati ini untuk dikontrakkan.  Penampilan ayah dan anak laki lakinya seperti preman.   Ketika kulaporkan masalah itu ke Ketua RT, aku kaget ternyata Ketua RTnya pun masih ada hubungan familiy dengan mereka.  Aku pikir percuma saja meributkan masalah itu pasti aku kalah. Beberapa malam kemudian orang orang itu membuat ulah.  Mereka berdangdut ria dengan diiringi orgen tunggal yang suaranya sangat keras, berekspresi di depan rumah kontrakanku.  Aku yang pulang letih sehabis bekerja tak dapat menahan emosi.  Aku keluar dan ngomel. Orang orang itu justru marah.  Dengan beringas mereka hendak mengeroyokku.  Si ayah sebelah rumahku itu menonjokku sampai mataku merah.  Ketika mereka mulai kesetanan aku berlari ketakutan masuk rumah.  Esoknya dengan dibantu Ibu dan seorang famili aku langsung mengemasi barang barangku pindah dari tempat itu.  

     Di wilayah berbeda aku mengontrak rumah lagi.  Lagi lagi malapetaka datang.  Suatu hari aku menegur seorang bapak yang selalu memarkir mobil kantornya di depan kontrakanku.  Rupanya orang itu tidak terima, dia begitu angkuh.  Malamnya tanpa kuduga dia menerorku.  Saat itu sudah tengah malam, sunyi, orang itu seperti berteriak teriak di loteng rumah.  Aku yang ketakutan langsung naik ke loteng belakang dan melompat ke pekarangan rumah tetangga di belakang rumah.  Beruntung Ibu itu mau menolongku setelah kuceritakan masalahnya.  Ia menyuruhku untuk bersembunyi di rumahnya sampai pagi.  Sayang kakiku terkilir saat loncat dan membuat aku tidak dapat bekerja selama beberapa minggu.  Dari rumah itupun aku buru buru pindah.

     Capek mengontrak rumah, aku putuskan untuk kos saja mungkin lebih aman.  Sebagian barang barang kutitipkan di rumah Ibu.  Nyatanya musibah datang lagi.  Ibu kosku adalah wanita setengah baya yang agak terganngu jiwanya.  Suatu ketika aku ngadu ke dia bahwa suami istri yang kos di kamar bawah bawa cucian laundry.  Tiap hari di jemuran selalu penuh dengan cucian mereka yang tidak lazim seperti beberapa sprei dan sarung bantal sekaligus.  Ibu kosku menegur mereka tapi membawa namaku karena aku yang ngadu. Maka kemudian yang ribut adalah aku dengan sepasang suami istri itu.  Sebelum mereeka pindah mereka mengancam dan menghinaku, katanya aku gila.  Emosiku tersulut tapi aku tidak bisa mencari perlindungan  Tiap bertemu di jalan mereka pasti menghinaku dan mengancam.

     Tuhan sampai kapan aku menderita??  Di mana ayah kandungku mungkin aku bisa berkeluh kesah pada beliau.  Dan seandainya Mbah putri masih ada tentu tidak seperti ini nasibku.  Beliau sangat menyayangi aku.  Aku bermimpi untuk bisa punya rumah sendiri.  Rumah yang nyaman, yang mendatangkan banyak berkah bagi penghuninya.  Memiliki rumah berarti memiliki harga diri.  Orang tidak lagi seenaknya menghina aku.  Tak terhitung sudah berapa puluh kali aku hidup berpindah pindah.  Dan selama itu pula Ibu tidak pernah menengokku, mungkin karena fisiknya yang tidak sehat, tidak gesit seperti dulu.  Aku Nandia hanya bisa menangis dan berdoa untuk memiliki rumah sendiri, yang bagus.....  Dan aku ingin bersimpuh di bawah kaki ayah kandungku seandainya Beliau masih ada.......








































Rabu, 16 September 2015

BLOK M


Kawasan Pasar Blok M di Jakarta Selatan sangatlah erat dengan kehidupanku.  Dulu nenekku berdagang di sana.  Kalau sedang menginap di rumah nenek selalu aku diajak ke sana.  Bahkan waktu kuliah aku kadang bolos hanya untuk berjalan-jalan di Blok M.  Setelah bekerja kadang aku juga berburu fashion bersama teman teman kantor karena kantorku juga kebetulan berada di kawasan itu.  Bersama Ani dan Ade, aku menyusuri areal kaki lima yang dulu masih marak di sana.  Biasanya kami membeli baju, tas atau pernak pernik lain.    Kami juga berburu jajanan di sana sekalian membeli kue dan buah buahan untuk para auditor kalau mereka sedang bertugas. Sepulang kantor biasanya aku mampir dulu ke supermarket atau mall, sesekali untuk membelikan sesuatu untuk kekasihku

Kini kenanganku akan blok M telah berlalu karena aku telah berhenti bekerja di kawasan itu.  Aku telah menikah dan tinggal di Jakarta Barat.  Bila sedang berada di Blok M aku merasakan kepedihan pada kepingan kepingan masa lalu itu.  Di mana teman teman kantorku?  Dan mantan pacar yang telah pergi membawa bongkah bongkah amarahku?  Kenangan itu berpendar pendar....





Rumah di tepi jalan tol


     Dengan hati hati kubawa motorku memeasuki pekarangan rumah yang mungil.  Rumah mungil bercat krem yang baru mulai aku cicil angsurannya sejak beberapa bulan terakhir ini.  Pagar pekarangan belum terpasang dan kubiarkan seonggok pohon semangka menjalar di tanahnya yang subur.  Tanaman lidah buaya besar sengaja kutanam di bawah jendela kamar.  jauhjauh kubawa dari rumah orang tuaku di Jakarta untuk bisa kupetik manfaat daunnya bila aktifitas menjelang cuci rambut tiba.  Teralis jendela kamar terlihat cantik dengan bentuknya yang menyerupai tangkai dahan dengan bunga di ujungnya.

     Tetangga sebelah kiri rumah adalah sepasang suami istri dengan seorang anak perempuan yang sering kulihar bermain di pekarangan rumah.  Ayahnya seorang supir perusahaan swasta bonafit sementara ibunya seorang ibu rumah tangga yang rajin ngerumpi. Rumah di sebelah kanan belum dihuni.  Entahlah tidak ada yang pernah menengok rumah itu. Mungkin belum laku terjual oleh developernya.  Ada cerita tersendiri tentang rumah itu.  Suatu malam saat aku ke kamar mandi, aku  dengar seperti segerombolan orang tertawa tawa dari arah rumah itu.  Aku berpikir mungkinkah tiba tiba rumah kosong itu berpenghuni?? Merinding aku mengingatnya  karena kawasan itu adalah kawasan hunian baru..Sebelumnya daerah itu adalah kawasan pinggir jalan tol berupa rawa rawa dan sebidang hutan.  Di sebrang jalan raya sana ada sungai besar melintang dengan aliran airnya yang tenang.  Ilalang masih banyak terlihat di sana sini.  Beberapa rumah penduduk menyebar di sepanjang tepi sungai.  Cerita tentang hutan kecilnya. beberapa malam lalu saat aku berboncengan motor dengan temanku, kulihat dalam temaram malam di kejauhan sana dari arah hutan sesosok ular melintas meliuk liukan tubuhnya. Aku menjerit kecil  melihatnya dan kuminta Rani temanku itu tancap gas jangan sampai roda motor mengenai ular itu.

     Rani adalah teman akrabku selama aku tinggal di sana. Seorang gadis centil yang masih duduk di bangku SLTA.  Orang tuanya punya banyak anak. Dia anak kedua.  Kakaknya perempuan adalah pribadi yang kalem dan manis.  Sementara adik bungsunya menderita penyakit kelainan genetik.  Wajahnya jauh kelihatan tua dibanding umurnya yang masih kanak kanak. Orang tuanya mengontrak rumah di perumahan itu.  Entah apa pekerjaan ayahnya tetapi ibunya seorang wanita cantik yang ramah, seorang ibu rumah tangga biasa.  Tentang Rani tak heran ibunya sangat berterima kasih padaku karena telah memberi perhatian lebih padanya di tengah kondisi ekonomi keluarga yang serba pas pasan.  Terbayang bagaimana keluarga itu bersusah payah memenuhi kebutuhan hidupnya. 

     Tetangga tetangga lain di lingkungan perumahan itu banyak pula yang menyenangkan.  Mereka ramah padaku.  Beberapa waktu lalu dua orang ibu muda, Mia dan Sisi menyambangi rumahku sekedar untuk berbincang bincang,  Sebagai seorang wanita yang belum menikah dan jauh dari orang tua tentu aku merasa terhibur dengan kehadiran mereka hingga aku tidak merasa kesepian.
    "Aduh kemarin rumahku kemasukan ular.  Masih banyak ular ya daerah ini..." Mia mengeluh sambil mengayun ayun bayi yang digendongnya kala itu.
Aku terkekeh, "Minggu lalu waktu aku mau menyalakan kran di pekarangan, di got nggak sengaja kulihat ular lagi berendam di situ.  Warnanya abu abu." Timpalku   Memang got perumahanku agak lebar dan dalam, aliran airnya kelihatan jernih jadi kalau ada hewan berdiam di situ pasti tampak. 

     Ada pula cerita lainnya.  Di awal awal pertama aku pindah ke sana, suatu siang saat berjalan, di samping sebuah rumah yang merupakan sebidang tanah kosong kulihat segerombolan ulat kaki seribu atau orang kadang menyebutnya luwing melata di dinding rumah itu.  Jumlahnya sangat banyak hingga membuatku geli.  Kini aku terbiasa melihat hewan itu melata di lantai rumahku.  

     Lalu kuingat pula cerita tentang ulat bulu.  Waktu itu aku masih mengontrak rumah teman kantorku baru pindah ke wilayah itu.  Pintu belakang rumah temanku itu berbulan bulan tidak pernah kubuka.  Aku hanya sering memandang lewat jendela dan menyadari bahwa kelamaan pagar pekarangan belakang ditumbuhi tanaman merambat.  Ketika aku berniat membuka pintunya aku terkejut karena atanaman merambat itu dipenuhi dengan ulat bulu.  Esoknya aku langsung minta tolong seorang bapak warga kampung sekitar untuk memangkas pohon pohonnya.  Bisa dibayangkan ulat ulat bulu dengan jumlah puluhan itu panik berlarian dan membuatku sangat geli..

     Tapi yang membuatku girang tinggal di sana adalah saat melihat sekawanan kambing mencari rumput.  Udara di sana juga masih sejuk, ditambah bunga bunga cantik bermekaran di sana sini.  Aku pindah ke kota itu karena perusahaan tempat aku bekerja baru membuka pabrik di tempat itu.

     Sore ini aku ingat ada janji dengan Rani untuk jalan-jalan ke alun-alun kota.  Di sana sudah banyak perumahan baru yang dibuka oleh developer-developer besar.  Bahkan apartmen juga sudah mulai ada.  Kabupaten ini sudah berubah menjadi kabupaten yang kaya karena keberadaan kawasan industri yang dihuni oleh perusahaan-perusahaan raksasa. 
 Benar saja sehabis mandi kulihat Rani sudah menampakkan batang hidungnya di pintu rumah.  Wajahnya ceria, "Ayo mba kita jalan...." ujarnya bersemangat.
     "Oke." Sahutku.
Di malam minggu yang cerah itu kami jalan-jalan di alun-alun dan membeli makanan.  Kami membeli martabak telur yang sudah terkenal enak di sana.  Mau membeli saja harus antri.  Menu enak lainnya adalah Mie Ayam Baso Gaul yang selalu ramai oleh pembeli.  Di seberang alun-alun ada toko penyewaan kaset DVD.  Kami mampir ke situ dan meminjam beberapa keping film. 

     Sepuluh tahun terlalu berlalu.  Rumah di tepi jalan tol itu tidak lagi kutempati.  Kredit kepemilikannya telah berpindah ke rekan kantor karena aku telah menjualnya.  Ya karena lima tahun lalu kuputuskan untuk berhenti bekerja.  Targer perusahaan yang terus mewajibkanku lembur kala itu membuatku semakin letih di tiap harinya.  Kuputuskan untuk kembali ke kota kelahiranku dan membuka usaha kantin makan.  Tidak pernah lagi kusinggahi perumahan yang telah selama beberapa tahun itu kudiami.  Sesekali kalau ke luar kota dan melintas di jalan tol itu baru kusempatkan untuk memandanginya sampai menghilang di pelupuk mata.  Kudengar Rani sudah diterima bekerja di perusahaan besar di sana.  Semoga anak itu akan menjadi orang sukses dan bisa membahagiakan keluarganya, orang tuanya.  Ilalang di tepian tol berayun-ayun.  Biarlah kenangan kutinggalakan di situ.  Biar hatiku tidak merasa menyesal telah meninggalkan kehidupanku di sana.....