Minggu, 27 September 2015

Nandia yang malang

Nandia yang malang

     Namaku Nandia.  Seorang gadis sederhana yang sedang meratapi nasib.  Sore ini aku menangis tersedu sedu di kamar kosku.  Seandainya aku lahir di keluarga yang harmonis tentu nasibku tidak seperti ini.  Dan seandainya Mabah putri masih ada.....  Orang tuaku bercerai saat aku masih bayi.  Beberapa tahun kemudian ibuku manikah lagi dan dikaruniai dua orang putri.  Ayah tiriku dulu hanya seorang karyawan biasa.  Kami tinggal di rumah kontrakan sederhana.  Kala itu ibuku kadang menerima jahitan untuk menambah penghasilan keluarga.  Mbah putri membuka toko kelontong masih di rumah yang sama  Mungkin karena Ibu rajin berdoa, keadaan ekonomi keluarga lambat laun mengalami perubahan ke arah yang lebih baik.  Rumah yang mereka kontrak akhirnya bisa mereka beli karena kebetulan yang punya rumah butuh uang.  Lambat laun karier ayah tiriku juga semakin bagus.  Siapa sangka akhirnya beliau bisa menempuh pendidikan sampai S2 dan mendapatkan jabatan bergengsi di tempatnya bekerja.  

     Setelah ayah pensiun keluargaku menempati sebuah rumah besar berikut mobil mewah bertengger di pekarangan rumah.  Saat itulah perangai Ibu mulai berubah.  Kebetulan aku telah bekerja dan Ibu memintaku untuk tinggal sendiri/ kos.  Mungkin dia merasa tidak enak dengan suaminya.  Tahun  pertama aku memilih untuk mengontrak rumah.  Petaka datang ketika suatu hari saat aku pulang kerja kudapati perhiasan emas dan aung yang kusimpan di rumah itu hilang, padahal pintu dalam keadaan terkunci,  Aku menuduh saudara si empunya rumah yang mencurinya karena keluarga itu tinggal di rumah sebelah.  Si pemilik sebelumnya menitipkan kunci rumah yang kutempati ini untuk dikontrakkan.  Penampilan ayah dan anak laki lakinya seperti preman.   Ketika kulaporkan masalah itu ke Ketua RT, aku kaget ternyata Ketua RTnya pun masih ada hubungan familiy dengan mereka.  Aku pikir percuma saja meributkan masalah itu pasti aku kalah. Beberapa malam kemudian orang orang itu membuat ulah.  Mereka berdangdut ria dengan diiringi orgen tunggal yang suaranya sangat keras, berekspresi di depan rumah kontrakanku.  Aku yang pulang letih sehabis bekerja tak dapat menahan emosi.  Aku keluar dan ngomel. Orang orang itu justru marah.  Dengan beringas mereka hendak mengeroyokku.  Si ayah sebelah rumahku itu menonjokku sampai mataku merah.  Ketika mereka mulai kesetanan aku berlari ketakutan masuk rumah.  Esoknya dengan dibantu Ibu dan seorang famili aku langsung mengemasi barang barangku pindah dari tempat itu.  

     Di wilayah berbeda aku mengontrak rumah lagi.  Lagi lagi malapetaka datang.  Suatu hari aku menegur seorang bapak yang selalu memarkir mobil kantornya di depan kontrakanku.  Rupanya orang itu tidak terima, dia begitu angkuh.  Malamnya tanpa kuduga dia menerorku.  Saat itu sudah tengah malam, sunyi, orang itu seperti berteriak teriak di loteng rumah.  Aku yang ketakutan langsung naik ke loteng belakang dan melompat ke pekarangan rumah tetangga di belakang rumah.  Beruntung Ibu itu mau menolongku setelah kuceritakan masalahnya.  Ia menyuruhku untuk bersembunyi di rumahnya sampai pagi.  Sayang kakiku terkilir saat loncat dan membuat aku tidak dapat bekerja selama beberapa minggu.  Dari rumah itupun aku buru buru pindah.

     Capek mengontrak rumah, aku putuskan untuk kos saja mungkin lebih aman.  Sebagian barang barang kutitipkan di rumah Ibu.  Nyatanya musibah datang lagi.  Ibu kosku adalah wanita setengah baya yang agak terganngu jiwanya.  Suatu ketika aku ngadu ke dia bahwa suami istri yang kos di kamar bawah bawa cucian laundry.  Tiap hari di jemuran selalu penuh dengan cucian mereka yang tidak lazim seperti beberapa sprei dan sarung bantal sekaligus.  Ibu kosku menegur mereka tapi membawa namaku karena aku yang ngadu. Maka kemudian yang ribut adalah aku dengan sepasang suami istri itu.  Sebelum mereeka pindah mereka mengancam dan menghinaku, katanya aku gila.  Emosiku tersulut tapi aku tidak bisa mencari perlindungan  Tiap bertemu di jalan mereka pasti menghinaku dan mengancam.

     Tuhan sampai kapan aku menderita??  Di mana ayah kandungku mungkin aku bisa berkeluh kesah pada beliau.  Dan seandainya Mbah putri masih ada tentu tidak seperti ini nasibku.  Beliau sangat menyayangi aku.  Aku bermimpi untuk bisa punya rumah sendiri.  Rumah yang nyaman, yang mendatangkan banyak berkah bagi penghuninya.  Memiliki rumah berarti memiliki harga diri.  Orang tidak lagi seenaknya menghina aku.  Tak terhitung sudah berapa puluh kali aku hidup berpindah pindah.  Dan selama itu pula Ibu tidak pernah menengokku, mungkin karena fisiknya yang tidak sehat, tidak gesit seperti dulu.  Aku Nandia hanya bisa menangis dan berdoa untuk memiliki rumah sendiri, yang bagus.....  Dan aku ingin bersimpuh di bawah kaki ayah kandungku seandainya Beliau masih ada.......








































Tidak ada komentar:

Posting Komentar